JAKARTA (VivaBanten.com) – Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya dalam melindungi Warga Negara Indonesia (WNI) dan memberantas tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di kawasan Asia Tenggara. Melalui Forum Pelindungan WNI/PMI serta Pencegahan dan Penanganan Kasus TPPO, Indonesia memperkuat sinergi antarperwakilan di luar negeri untuk memperkokoh perlindungan pekerja migran dan menghadapi kejahatan lintas batas.
Forum ini digelar pada 11–13 November 2025 di KBRI Singapura, KJRI Johor Bahru, serta di Pelabuhan Pasir Gudang dan Pelabuhan Stulang Laut, Malaysia, melibatkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, antara lain Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), serta Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI).
Diplomasi Pelindungan dan Peningkatan Kualitas PMI
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Singapura, Suryo Pratomo, menekankan pentingnya peningkatan kualitas serta status kerja Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura.
“Dari sekitar 160 ribu PMI di Singapura, kami berharap 10 hingga 20 persen dapat naik kelas dari pekerja domestik menjadi caregiver. Namun tantangan besar yang kita hadapi bersama adalah TPPO. Saat ini tercatat 1.617 kasus TPPO di Asia Tenggara,” ujar Suryo Pratomo.
Ia menegaskan, diplomasi pelindungan harus sejalan dengan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan PMI sebagai bagian dari transformasi ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri.
TPPO Sebagai Kejahatan Luar Biasa
Asisten Deputi Kerja Sama ASEAN Kemenko Polhukam, Nur Rohmah, menyebut TPPO sebagai kejahatan luar biasa yang melanggar hak asasi manusia dan membutuhkan koordinasi lintas negara yang lebih solid.
“Indonesia sedang berada dalam situasi darurat TPPO. Gugus tugas kita harus memperkuat koordinasi, karena jaringan pelaku TPPO sangat terstruktur dan beroperasi lintas batas,” ungkapnya.
Pendekatan Berbasis Manusia dan Kolaborasi Lintas Lembaga
Wakil Menteri KemenPPPA, Veronica Tan, menekankan pentingnya pendekatan berbasis manusia (people-oriented approach) dan kolaborasi lintas lembaga dalam menuntaskan akar persoalan migrasi dan perdagangan orang.
“Masalah utama TPPO dan migrasi adalah ekonomi. Banyak perempuan tergoda jalur nonprosedural karena sulitnya memenuhi syarat kerja resmi di luar negeri. Negara harus hadir memberi akses agar mereka dapat bekerja secara legal, aman, dan pulang sebagai champion di daerah asalnya,” ujarnya.
KP2MI: Negara Hadir dari Hulu ke Hilir Migrasi
Direktur Kepulangan dan Rehabilitasi KP2MI, Seriulina, menegaskan bahwa negara hadir di setiap tahap migrasi, mulai dari pra-keberangkatan, masa kerja, hingga kepulangan.
“KP2MI memiliki 20 helpdesk dan 6 lounge di bandara yang selalu siaga mendampingi pekerja migran. Petugas kami standby hingga penerbangan terakhir untuk memastikan tidak ada PMI yang terabaikan. Kami juga memperkuat komunikasi dengan perwakilan RI di Asia Tenggara,” jelasnya.
Sebagai langkah pencegahan dari hulu, KP2MI juga terus mengembangkan program Desa Migran Emas, yang menjadi wadah edukasi dan pemberdayaan masyarakat di daerah asal calon pekerja migran.
“Melalui 10 pilar Desa Migran Emas, pencegahan TPPO dimulai dari desa—dari akar permasalahan. Program ini hadir untuk calon PMI, PMI aktif, purna PMI, dan keluarganya,” tambah Seriulina.
Sinergi Regional untuk Migrasi Aman dan Bermartabat
Forum ini menjadi bukti nyata diplomasi pelindungan WNI di kawasan ASEAN. Kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, didukung peran aktif KP2MI, menegaskan komitmen Indonesia untuk menciptakan tata kelola migrasi yang aman, tertib, dan bermartabat.
Melalui langkah sinergis ini, Indonesia menunjukkan bahwa negara hadir dari hulu hingga hilir ekosistem migrasi, memastikan setiap pekerja migran terlindungi dan dihargai di mana pun mereka berada.(rls/joe)
