Oleh:
Henlia Peristiwi Rejeki
KEHADIRAN pengungsi etnis Rohingya di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah memunculkan perdebatan yang kompleks. Etnis Rohingya, yang menghadapi penindasan dan kekerasan sistematis di Myanmar, mulai mencari suaka sejak tahun 2009. Dalam beberapa tahun terakhir, aliran pengungsi ini terus meningkat, termasuk kedatangan ribuan pengungsi di Aceh pada bulan November 2023. Masyarakat Aceh, yang memiliki ikatan keagamaan dan empati kuat terhadap penderitaan sesama Muslim, dengan tulus membuka pintu untuk para pengungsi ini. Meski demikian, tantangan besar menanti Indonesia dalam menangani isu ini, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kemanusiaan dan kepentingan nasional.
Sejarah panjang penindasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar telah menjadikan mereka sebagai salah satu kelompok yang paling terpinggirkan di dunia. Dianggap sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius, banyak negara termasuk Indonesia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan perlindungan. Indonesia, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas, telah berupaya menyediakan kebutuhan dasar bagi para pengungsi, mulai dari tempat tinggal sementara hingga pelayanan kesehatan. Tindakan ini merupakan bentuk nyata dari komitmen Indonesia terhadap penegakan hak asasi manusia di wilayah Asia Tenggara.
Namun, meningkatnya jumlah pengungsi Rohingya yang datang setiap tahun menimbulkan tantangan tersendiri. Tanpa regulasi yang jelas, Indonesia berisiko menghadapi masalah hukum dan sosial yang lebih besar di masa depan. Sebagai negara yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia tidak memiliki aturan khusus yang mengatur status pengungsi. Hal ini menimbulkan celah hukum yang perlu segera diatasi.
Keberadaan pengungsi Rohingya di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih terarah dan terstruktur. Salah satu langkah yang perlu diambil adalah pembentukan regulasi khusus mengenai pengungsi yang mencari suaka di Indonesia. Regulasi ini harus mencakup berbagai aspek, termasuk durasi penampungan, prosedur penerimaan, dan integrasi sosial bagi para pengungsi yang tinggal dalam jangka waktu lama.
Durasi Penampungan: Perlu ditetapkan batas waktu yang jelas mengenai berapa lama pengungsi boleh tinggal di Indonesia. Jika mereka tetap berada di negara ini setelah jangka waktu tertentu tanpa ada kejelasan status, maka harus ada opsi integrasi yang jelas, seperti pemberian status kewarganegaraan. Hal ini akan mencegah pengungsi berada dalam kondisi tidak menentu yang bisa memicu masalah sosial.
Proses Verifikasi Ketat: Selain batas waktu, diperlukan juga verifikasi ketat terhadap identitas pengungsi. Ini penting untuk menghindari kemungkinan adanya penyusup yang bisa mengancam stabilitas keamanan negara. Prosedur yang ketat akan memastikan bahwa pengungsi yang datang benar-benar membutuhkan perlindungan.
Integrasi Sosial dan Kewarganegaraan: Pengungsi yang tinggal di Indonesia dalam jangka waktu lama harus memiliki kesempatan untuk berintegrasi ke dalam masyarakat. Ini termasuk akses terhadap pendidikan, pelatihan keterampilan, dan kesempatan kerja yang layak. Jika pengungsi memilih untuk tinggal permanen, proses naturalisasi harus dilakukan dengan cermat, termasuk kemungkinan penggantian identitas untuk memudahkan integrasi. Langkah ini penting untuk mencegah terbentuknya komunitas eksklusif yang bisa memicu ketegangan di kemudian hari.
Pengalaman sejarah dunia menunjukkan bahwa pengelolaan pengungsi yang tidak hati-hati dapat menimbulkan konflik di kemudian hari. Salah satu contoh yang sering menjadi rujukan adalah konflik Palestina-Israel, di mana pengungsi Yahudi yang awalnya mencari suaka kemudian mendirikan negara baru di atas wilayah Palestina. Ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia agar lebih berhati-hati dalam menangani pengungsi, terutama pengungsi yang datang dalam jumlah besar dan memiliki potensi untuk menuntut hak-hak yang lebih besar di masa depan.
Regulasi yang jelas dan tegas akan membantu mencegah risiko tersebut. Dengan batas waktu yang jelas, proses verifikasi yang ketat, dan opsi integrasi yang terencana, Indonesia bisa menghindari potensi ancaman konflik di masa depan tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Indonesia tidak bisa menangani isu ini sendirian. Dukungan dari masyarakat internasional dan organisasi global sangat diperlukan untuk mencari solusi jangka panjang. Kerjasama dengan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) serta negara-negara sahabat diharapkan bisa memberikan jalan keluar yang lebih komprehensif, termasuk opsi pemindahan pengungsi ke negara ketiga yang bersedia menerima mereka.
Selain itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk melibatkan masyarakat lokal dalam proses integrasi. Dengan memberikan pemahaman yang tepat tentang kondisi para pengungsi dan alasan di balik pemberian perlindungan, masyarakat akan lebih menerima keberadaan mereka, mengurangi potensi konflik sosial, dan memperkuat rasa solidaritas kemanusiaan.
Kehadiran pengungsi etnis Rohingya di Indonesia merupakan ujian bagi komitmen negara dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Di satu sisi, Indonesia ingin memberikan perlindungan dan bantuan bagi mereka yang menjadi korban penindasan. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk menjaga keamanan dan stabilitas nasional dalam jangka panjang.
Pemerintah Indonesia perlu segera menyusun kebijakan yang komprehensif dan berimbang untuk menghadapi situasi ini. Dengan regulasi yang jelas dan kebijakan yang terstruktur, Indonesia bisa tetap menjalankan peran kemanusiaannya sambil menjaga keamanan nasional. Keseimbangan antara moralitas dan kepentingan negara harus selalu menjadi panduan dalam menentukan arah kebijakan terkait pengungsi, khususnya bagi etnis Rohingya yang terus mencari suaka di negeri ini.(*)
Penulis adalah mahasiswa S3 Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung