ADAT SUKU DAYAK INDRAMAYU DALAM PERSPEKTIF PENOMENOLOGI


Notice: Trying to get property 'post_excerpt' of non-object in /home/vivabant/public_html/wp-content/themes/bloggingpro/template-parts/content-single.php on line 81

OLEH: JUANDA SAPUTRA DLT

Fenomenologi bisa diartikan sebagai studi tentang pengalaman hidup seseorang atau metode untuk mempelajari bagaimana individu secara subjektif merasakan pengalaman dan memberikan makna dari fenomena yang ada.

Bacaan Lainnya

Untuk itu, melalui artikel ini penulis akan menceritakan pengalaman yang didapat selama melakukan penelitian di sebuah suku, komunitas atau sekelompok orang yang memiliki keyakinan kepercayaan kepada Tuhan, diluar enam agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia.

Suku Dayak. Mungkin ketika mendengar kalimat tersebut daya nalar pikiran kita langsung tertuju ke sebuah kota yang berada di pulau Kalimantan, dimana pulau tersebut merupakan tempat tinggal Suku Dayak bermukim.

Namun, penulis menceritakan Suku Dayak yang ada di Pulau Jawa. Tepatnya berada di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.

Suku Dayak Losarang Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu atau biasa disebut Suku Dayak Losarang atau Suku Dayak Takmad adalah sekelompok komunitas lokal yang mempercayai suatu ajaran bersama. Suku Dayak Losarang ini merupakan salah satu suku di Indonesia yang hingga saat ini masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang mereka miliki dan yakini di tengah kemajuan peradaban di sekitar mereka.

Untuk menuju ke lokasi Suku Dayak Indramayu bermukim ini, penulis harus menempuh perjalanan darat dari Tangerang sekitar 5-6 jam. Saat itu penulis bersama rombongan berangkat dari Tangerang pukul 20.30 Wib, kemudian sekitar tiga jam perjalanan penulis dan rombongan memutuskan untuk beristirahat di sebuah rest area Tol Cipali (Cikampek-Palimanan).

Setelah beristirahat sejenak kami kembali melanjutkan perjalanan menelusuri jalan tol Cipali dan keluar di pintu tol Cikedung Indramayu. Namun, tidak sampai disitu. Setelah keluar jalan tol, kami mulai membuka Google Maps sebagai penunjuk jalan karena sebelumnya kami belum tahu lokasi dari Suku Dayak Losarang Indramayu tersebut.

Setelah menyalahkan aplikasi Google Maps terlihat lokasi Suku Dayak Losarang Indramayu masih harus ditempu 1 jam perjalanan. Kami bersama rombongan lainnya, langsung tancap gas mobil. Namun, kali ini perjalanan harus membutuhkan kewaspadaan dan kehati-hatian dari pengemudi, karena medan jalan yang dilalui melintasi hutan jati yang begitu sepi dan melewati pematang sawah.

Kami pun ada kekhawatiran adanya aksi kejahatan begal jalanan karena sangat sepi nya jalan, waktu pun sudah larut malam bahkan di jalan pun hanya ada dua kendaraan kami yang melintas. Tapi Alhamdulillah, perjalanan kami dihentikan oleh Google Maps yang menyatakan bahwa tujuan sudah sampai.

Sekitar pukul 2 dini hari kami bersama rombongan pun sampai ke lokasi Suku Dayak Indramayu. Tepat di depan gerbang sebuah padepokan yang tertuliskan diatas gerbang “Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Losarang Indramayu” kami dibukan gerbang oleh seorang pria berambut panjang dengan telanjang dada dan memakai celana pendek hitam dan putih.

Kami pun dipersilahkan masuk untuk beristirahat. Untuk rombongan laki-laki beristirahat di ruangan padepokan yang ditengah-tengah ada sebuah sumur kecil yang konon airnya tidak pernah surut, meskipun sumur itu kedalamannya hanya sejengkal bahkan seperti rata dengan lantai.

Sementara rombongan perempuan beristirahat di sebuah pendopo. Yang menjadi bertanya-tanya dalam hati saat itu penulis melihat sebuah gedung dengan kontruksi bundar dengan sisi-sisi tembok ada replika dua ular naga. Gedung tersebut dinamakan Keraton yang digunakan Suku Dayak Losarang Indramayu untuk ritual dan boleh dibuka hanya untuk keperluan ritual.

Setelah melakukan obrolan-obrolan kecil dengan para anggota Suku Dayak Losarang, Kami pun beritsirahat hingga pagi tiba. Kemudian bersiap-siap mandi dan sarapan pagi dengan lauk tanpa adanya yang bernyawa (tidak akan ikan, ayam atau lainnya yang bernyawa-red) karena bagi komunitas Suku Dayak Losarang merupakan sebuah pantangan.

Anggota Suku Dayak Losarang Indramayu saat menjalankan ritual Kumkum.

Kemudian sekitar pukul 10.00 Wib kami mulai melakukan diskusi dan Tanya jawab dengan Bapak Wardi Jurubicara Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Losarang Indramayu.

Berbagai pertanyaan diajukan para mahasiswa fakultas hukum Universitas Pamulang dari sejarah berdirinya Suku Dayak Indramayu, ritual-ritual apa saja yang dilaksanakan dan bahkan pantangan-pantangan yang dilarang dalam komunitas mereka tersebut.

Menurut Wardi Suku Dayak Losarang bukanlah etnis. Suku diartikan sebagai kaki, artinya manusia berjalan dan berdiri di atas kaki mereka sendiri. Sementara Dayak berasal dari kata ngayak yang artinya menyaring berbagai pilihan benar atau salah yang ada di hadapan manusia dalam menjalani kehidupannya. Hindu ialah rahim atau mengandung. Maksudnya, setiap manusia dilahirkan dari kandungan seorang ibu. Sedangkan Budha (wuda) artinya telanjang ketika dilahirkan dan tidak memakai apa-apa. Artinya, manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang yang seharusnya penuh dengan kejujuran dan menyatu dengan alam. Losarang artinya nama tempat dimana Suku Dayak bermukim.

Dari hasil diskusi tersebut, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa Suku Dayak Losarang Indramayu tidak sama dengan suku-suku yang ada di Indonesia. Karena mereka memiliki keyakinan kepercayaan tidak wajar seperti masyarakat pada umumnya.

Mereka menyakini kepercayaan ajaran “Sejarah Alam Ngaji Rasa” yaitu sebuah ajaran yang tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Bahkan ajaran ini dinilai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Indramayu merupakan ajaran sesat, namun masyarakat Dayak Losarang tetap mempertahankan keyakinannya hingga sekarang.

Ritual Suku Dayak Losarang ini dinamakan “kum-kum” atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan rendaman. Ritual ini mereka lakukan untuk melatih kesabaran. Kum-kum sendiri mereka lakukan selama empat bulan dalam satu tahun tepatnya setiap pukul 23.00. Sebelum kum-kum, mereka biasanya melakukan kidung terlebih dahulu. Setelahnya, mereka akan berjalan ke sungai kecil di dekat perkampungan mereka untuk merendam diri hingga pagi hari tiba. Ritual tersebut bertujuan untuk melatih kesabaran para anggota Suku Dayak dari dinginnya udara malam dan air sungai berikut gigitan ikan kecil-kecil yang hidup di sungai.

Setelah ritual kum-kum selesai, mereka tidak lantas pulang ke rumah pada pagi harinya. Mereka harus melakukan ritual lanjutan berupa pepe atau berjemur. Mereka akan berjemur pada pagi hari hingga celana mereka kembali kering. Tujuan dari ritual ini adalah untuk mendekatkan manusia dengan alam tanah. Setelah menyelesaikan rangkaian ritual tersebut, mereka akan merasa menjadi orang baru kembali.

Komunitas Suku Dayak Losarang Indramayu saat melaksanakan ritual Pepe.

Ritual lain yang dilakukan oleh kelompok aliran kepercayaan ini juga banyak mengikutsertakan kelompok manusia. Bertempat di Pendopo Nyi Ratu Kembar, setiap malam Jumat kliwon mereka berkumpul bersama. Beberapa laki-laki bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek hitam putih. Mereka duduk mengelilingi kolam kecil di dalam pendopo. Sementara kaum perempuan, duduk berselonjor di luar pendopo. Mula-mula, mereka akan melantunkan Kidung Alas Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Bacaan tersebut dilantunkan dalam bahasa Jawa Cirebon dan dikarang langsung oleh pendiri komunitas ini, yaitu Takmad Diningrat.

Selain itu terdapat kepercayaan unik dari ajaran Suku Dayak Indramayu, yakni memposisikan kaum perempuan pada posisi paling terhormat sekaligus sumber kehidupan. Selain itu anak-anak di Suku Dayak Indramayu juga ditempatkan pada posisi yang tinggi.

Anggota Dayak Losarang terbagi tiga yaitu Preman, Golongan, serta Dayak Pedalaman. Anggota Preman itu masih mengenakan baju. Simbolnya, mereka pakai gelang sama seperti yang dipakai Dayak Losarang lainnya. Anggota Golongan, memakai pakaian hitam-hitam atau pangsi dan itu sudah tersebar di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Terakhir, anggota Dayak Pedalaman. “Inilah yang paling susah, karena harus mengatur nafsu duniawi. Tidak pakai baju, tidak pakai sandal, tidak makan makanan dari makhluk yang bernyawa, bercelana hitam dan putih.”

Demikian pengalaman yang dialami penulis dalam melakukan penelitian di komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Losarang Indramayu. Meskipun mereka dalam menyakini kepercayaan kepada Tuhan nya tidak diakui oleh Negara, tapi mereka bisa hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar tanpa harus ada pertentangan perbedaan suku atau agama. Semoga berbedaan atau keberagaman keyakinan dan kepercayaan membuat bangsa Indonesia semakin kuat.(*)

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *