Oleh:
Lisdayanti
Perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) telah berdiri tegak sebagai sebuah realitas konstitusional dan geografis bagi Republik Indonesia. Keputusan ini tak sekadar mengubah peta administrasi pemerintahan, namun juga menorehkan babak baru dalam diskursus hukum tata negara kita, khususnya mengenai batasan dan implementasi kewenangan eksekutif dalam kebijakan berskala monumental. Penting bagi kita, sebagai insan hukum, untuk menelisik langkah besar ini dari kacamata yuridis yang lebih mendalam, memahami landasan kewenangannya, menimbang realitas implementasi fiskalnya, serta meresapi suara-suara kritis yang bukan sekadar sentilan, sesungguhnya adalah refleksi atas kepatuhan kita terhadap amanat konstitusi.
Di awal gaung pemindahan ibu kota, Profesor Mahfud MD, seorang pakar hukum tata negara terkemuka, pernah menegaskan bahwa pemindahan ibu kota adalah “wewenang penuh Presiden”. Dalam pandangannya yang terangkum pada tahun 2019, sebuah undang-undang baru atau perubahan terhadap undang-undang yang sudah ada baru diperlukan ketika pemindahan fisik telah resmi dilakukan secara yuridis. Interpretasi ini menempatkan inisiatif kebijakan strategis pada domain eksekutif, menyiratkan adanya prerogatf presiden yang luas dalam menentukan kebijakan fundamental negara, dan menyuguhkan gambaran efisiensi birokrasi dalam eksekusi proyek raksasa.
Namun, menilik lebih dalam literatur hukum tata negara, kewenangan Presiden, meskipun vital sebagai inisiator kebijakan, tidaklah bersifat absolut atau tunggal dalam konteks konstitusional Indonesia yang menganut prinsip checks and balances. Dalam sistem ketatanegaraan kita, keputusan fundamental yang memiliki implikasi luas seperti penetapan dan pemindahan ibu kota seyogyanya merupakan hasil pembahasan bersama dan persetujuan dari lembaga legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden memang memiliki hak untuk mengusulkan dan menginisiasi rencana pemindahan, bahkan telah menetapkan lokasi awal. Akan tetapi, penetapan tersebut tidak dapat mendahului pengkajian hukum yang komprehensif, termasuk pembentukan dasar hukum yang kuat dan legitimasi demokratis melalui representasi rakyat.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) lantas menjadi konstitusionalisasi formal atas kebijakan yang diinisiasi eksekutif ini. Keberadaan UU IKN ini mengindikasikan bahwa sekalipun inisiatif datang dari Presiden, penetapan ibu kota memerlukan payung hukum setingkat undang-undang, yang secara hierarkis lebih tinggi dari sekadar kebijakan eksekutif. UU IKN, meskipun dapat dikategorikan sebagai “produk politik hukum” dan bersifat lex specialis, telah sah menjadi landasan konstitusional yang memberikan legitimasi formal bagi IKN sebagai pusat pemerintahan dan simbol negara. Ini adalah bukti bahwa dalam sebuah negara hukum, bahkan kebijakan paling ambisius sekalipun, harus tunduk pada formalitas dan prosedur hukum yang menjamin akuntabilitas.
Narasi besar tentang pemindahan IKN sebagai solusi bagi berbagai masalah, mulai dari efisiensi penyelenggaraan pemerintahan hingga pemerataan ekonomi, telah gencar diungkap. IKN digadang-gadang sebagai kota dunia yang modern, maju, dan strategis, dengan pertimbangan geopolitik dan geostrategi yang matang. Namun, di balik visi megah tersebut, realitas finansial kini menghadirkan tantangan yang tak kalah menantang, bahkan cenderung menguji konsistensi kebijakan negara dalam bingkai konstitusi.
Sebab, tak perlu berlebihan ngotot membangun IKN di Kalimantan Timur jika keuangan negara memang seret, bukan? Adalah Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, yang pada Desember 2024 lalu dengan lugas mengakui keterbatasan dana, bahkan mengisyaratkan kemungkinan molornya target 100 persen pembangunan IKN. “Target bisa 100 persen ya pasti enggak-lah. Karena duitnya kan terbatas,” ujarnya. Sebuah pengakuan jujur yang menampar idealisme dan sekaligus mempertanyakan prinsip akuntabilitas fiskal dalam tata kelola negara. Apalagi, hingga kini, investor riil yang rela menggelontorkan dana besar untuk megaproyek senilai Rp466 triliun ini yang sebagian besar (Rp254,436 triliun) dibebankan pada Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan sisanya dari APBN serta BUMN/swasta masih bak bayangan tak berwujud. Menteri Dody bahkan berceletuk, “Kalau ada yang mau bangun (investor), dengan senang hati, gitu.” Sebuah undangan yang terdengar seperti keputusasaan yang disamarkan, sekaligus menyoroti tantangan kapasitas fiskal negara dalam mengimplementasikan amanat undang-undang yang telah dibuat.
Lebih lanjut, di tengah ketidakpastian pendanaan IKN, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto justru menggeser skala prioritasnya. Fokus kini beralih kepada “perut rakyat”, yakni mengejar target swasembada pangan. “Rasa-rasanya, sudah benar jika pemerintahan Prabowo Subianto memilih fokus kepada masalah rakyat. Yakni menciptakan swasembada pangan. Ketimbang membangun IKN nan megah, namun banyak rakyat susah makan,” demikian sebuah suara kritis menggemakan urgensi ini. Pergeseran prioritas ini, meskipun secara politis dapat dimengerti sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak rakyat, secara hukum tata negara menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi kebijakan negara. Apakah sebuah proyek yang telah dilegitimasi oleh undang-undang dapat begitu saja “bergeser” prioritasnya tanpa implikasi hukum dan politik yang berarti? Upaya Kepala Otorita IKN (OIKN), Basuki Hadimuljono, yang telah sibuk mencari utangan ke berbagai pihak, termasuk Bank Pembangunan Asia (ADB), dan menyusun anggaran Rp48,8 triliun untuk tahap kedua 2025-2029, menunjukkan dilema antara komitmen hukum dan realitas fiskal, serta potensi molornya target penyelesaian IKN yang paling lambat diharapkan bisa membuat Presiden berkantor di sana pada 17 Agustus 2029.
Dalam diskursus yang serba formal dan teknokratis, terkadang kita perlu sedikit ‘dicubit’ oleh suara-suara dari akar rumput, yang mungkin lebih jujur dan taktis dalam menyampaikan keresahan. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), dengan gaya khasnya, pernah menyentil bahwa para pemimpin seolah “diuntungkan oleh rakyatmu yang tangguh”. Sebuah satir yang menusuk, menyiratkan bahwa ketangguhan dan daya tahan bangsa ini acapkali dijadikan asumsi dasar bagi penguasa untuk melanggengkan kebijakan tanpa perlu terlalu khawatir akan gejolak sosial yang fatal, bahkan ketika grand design pembangunan menghadapi keterbatasan anggaran dan investor tak kunjung datang.
Ketangguhan rakyat ini, dalam konteks IKN, terwujud dalam keheranan dan kekhawatiran dari wajib pajak, yang melihat jumlah uang fantastis dikeluarkan untuk pemindahan tersebut. Padahal, sesuai dengan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah beberapa kali diubah, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang bersifat memaksa, yang digunakan untuk “keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ini adalah amanat konstitusional yang mewajibkan negara untuk mengelola keuangan publik demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rakyat ‘tangguh’ ini, yang senantiasa menunaikan kewajibannya, berhak untuk mempertanyakan ke mana dan untuk apa dana besar itu digelontorkan, apalagi di tengah transisi pasca-pandemi yang masih menyisakan luka ekonomi. Sebuah “multiplying effect” dari kenaikan harga tanah di Penajam Paser Utara dan peningkatan PPh atas transaksi jual beli tanah mungkin akan terjadi, namun apakah itu cukup untuk menutupi nilai investasi yang sangat besar, dan apakah itu sebanding dengan prioritas mendasar seperti swasembada pangan? Ini adalah pertanyaan retoris yang menggantung, menguji komitmen negara terhadap distribusi keadilan dan kesejahteraan publik yang diamanatkan konstitusi.
Pemindahan Ibu Kota Negara telah menjadi babak baru dalam sejarah hukum tata negara Indonesia. Dari perspektif doktrin, kewenangan Presiden untuk menginisiasi memang ada, dan telah diformalisasi melalui UU IKN. Namun, esensi hukum tata negara yang sesungguhnya melampaui sekadar formalitas perundang-undangan. Ia menuntut adanya keseimbangan antara kekuasaan, akuntabilitas, keadilan, dan partisipasi publik yang bermakna. Ini adalah ujian bagi konstitusionalisme kita.
Kritik yang muncul, baik dari kalangan akademisi maupun suara-suara dari intelektual publik seperti Cak Nun, seyogyanya menjadi cermin untuk evaluasi berkelanjutan. Meskipun IKN telah berdiri, bukan berarti perjalanan usai. Pemerintah harus terus memastikan bahwa visi besar IKN sebagai kota dunia yang modern tidak mengorbankan hak-hak fundamental rakyat, khususnya masyarakat adat yang merupakan penjaga awal tanah tersebut, dan tidak pula mengabaikan prioritas dasar kesejahteraan rakyat. Partisipasi publik harus terus dibuka dan diintensifkan dalam setiap tahapan pembangunan dan pengelolaan IKN, agar kebijakan ini benar-benar menjadi representasi kehendak seluruh rakyat Indonesia dan selaras dengan cita-cita negara hukum dan kesejahteraan.
IKN adalah sebuah proyek bangsa yang ambisius. Ia harus menjadi monumen keadilan sosial dan kesejahteraan, bukan sekadar simbol kekuasaan yang harus dipaksakan hingga “mencari utangan ke sana-sini”, bahkan mengorbankan stabilitas fiskal atau prioritas dasar rakyat. Mari kita pastikan bahwa “Republik Indonesia ini bukan Singapura, bukan sebuah Kecamatan” yang bisa diatur semau hati, melainkan sebuah negara besar dengan rakyat yang tangguh, yang berhak atas tata kelola negara yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan, sesuai dengan amanat luhur Konstitusi.
Pemindahan Ibu Kota Negara telah menciptakan dilema konstitusional yang fundamental dalam tata kelola negara Indonesia. Di satu sisi, kewenangan Presiden untuk menginisiasi kebijakan strategis telah mendapat legitimasi formal melalui UU IKN, membuktikan bahwa prerogatif eksekutif dalam sistem ketatanegaraan kita tetap terbatas oleh prosedur demokratis. Namun di sisi lain, realitas fiskal yang diakui sendiri oleh Menteri PU “duitnya kan terbatas” menghadirkan pertanyaan mendasar tentang konsistensi implementasi amanat konstitusional.
Dilema ini bukan sekadar persoalan teknis anggaran, melainkan ujian terhadap prinsip akuntabilitas dan keadilan distributif yang menjadi fondasi negara hukum. Ketika kewenangan konstitusional berbenturan dengan keterbatasan fiskal, muncul pertanyaan: apakah negara boleh mengabaikan prioritas dasar kesejahteraan rakyat demi memenuhi ambisi pembangunan yang telah dilegitimasi undang-undang? Pergeseran fokus Prabowo ke swasembada pangan, meskipun secara politis dapat dipahami, secara yuridis menimbulkan inkonsistensi terhadap komitmen hukum yang telah ditetapkan.
Pada akhirnya, IKN menjadi cermin bagi kematangan konstitusionalisme Indonesia. Proyek ini harus dikelola dengan prinsip transparansi fiskal, akuntabilitas demokratis, dan prioritas yang selaras dengan amanat konstitusi untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dilema konstitusional IKN mengingatkan kita bahwa kewenangan tanpa pertanggungjawaban fiskal yang memadai dapat mengancam legitimasi demokratis itu sendiri. Mari pastikan bahwa ambisi membangun ibu kota baru tidak mengorbankan fondasi keadilan sosial dan kesejahteraan yang menjadi cita-cita luhur bangsa ini.(*)
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pamulang